Hari Buruh Sedunia (May Day) 2012 telah berlalu. Namun, itulah momentum tepat untuk merefleksikan perjuangan bagi perbaikan kesejahteraan buruh Indonesia saat ini. Sebagai bagian dari warga bangsa, kesejahteraan buruh masih jauh dari harapan, baik dari sisi upah maupun jaminan sosial sehingga perlu ditingkatkan.

Termasuk dalam hubungan industrial (buruh-pengusaha) pun masih ditandai jauh dari rasa adil dan harmonis. Buruh masih diposisikan sebagai pihak yang lemah, bukan sebagai mitra pengusaha. Hal ini tidak terlepas dari iklim usaha yang kurang kondusif. Banyak persyaratan dengan beban-beban yang sesungguhnya sangat memberatkan pengusaha hingga berimbas pada nasib buruh. Buruh dan Pengusaha Harus Bersatu

Negara sendiri belum efektif menerapkan good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik sesuai tuntutan reformasi. Akibatnya, praktik high cost economy dengan implikasi negatif dan amat luas telah merambah ke berbagai lini serta level secara kronis setiap hari. Selaku penyelenggara negara, pemerintah semestinya mengambil peran proaktif melalui tindakan berani dan efektif untuk memberantas praktik pungutan-pungutan liar sampai ke akar-akarnya, yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.

Seandainya pemerintah mampu memotong “jaringan” pungli itu, maka kemampuan pengusaha untuk menyejahterakan buruh praktis akan meningkat signifikan. Karena itulah, faktor penyebab high cost economy adalah musuh bersama bagi pengusaha dan buruh. Simultan dengan itu, pemerintah perlu menata kembali sistem upah nasional dengan mengacu pada kebutuhan hidup layak dan berkeadilan. Formulanya tidak harus menimbulkan ketegangan antara pengusaha dan buruh.

Khusus terkait permasalahan outsourcing, pemerintah perlu mengkaji ulang dan mengaturnya kembali secara sungguh-sungguh. Aspirasi buruh dan pengusaha harus diperhatikan, tanpa mengorbankan buruh. Untuk memperbaiki hubungan industrial ke depan agar menjadi lebih harmonis dan adil, pengusaha semestinya proaktif membangun forum komunikasi bipartit antara unsur serikat buruh/pekerja dan manajemen/pengusaha secara teratur dan berkala. Pemerintah wajib mendorong komunikasi itu di semua level sampai ke tingkat perusahaan.

Forum bipartit akan memberikan ruang sharing untuk memecahkan masalah (problem solving) pengusaha-buruh. Selain dapat menumbuhkan semangat kemitraan, sekaligus dapat menempatkan mereka menjadi dua subjek yang saling menghidupi (symbiosis mutualistis) dan sama-sama eksis dalam proses industrial. Dengan demikian, pembuatan dan pelaksanaan perjanjian kerja bersama (PKB) oleh pengusaha bersama buruh, tidak akan ada hambatan berarti.

Bagi buruh, sebagai subjek yang eksis dengan produktivitas kerja optimum, mesti ikut proaktif memperjuangkan hak-haknya agar bisa hidup makin sejahtera dalam hubungan industrial secara adil dan harmonis. Namun, perjuangan itu perlu dilakukan dengan cara-cara yang elegan dan simpatik sesuai koridor aturan yang ada. Cara-cara yang menimbulkan ekses antipati publik mesti dihindari. Demikian pula halnya terhadap pihak-pihak yang bermaksud menunggangi untuk kepentingan politik sempit, harus diwaspadai secara cermat.

Buruh mesti bisa mewaspadai adu domba dengan siapa pun. Seyogianya bersama pengusaha saling menghidupi dan saling mendukung bagaikan dua sisi mata uang. Buruh justru mesti bersatu dengan pengusaha, mendesak pemerintah selaku penyelenggara negara agar serius memberantas praktik-praktik liar yang kian membebani pengusaha hingga menghambat peningkatan kesejahteraan kaum buruh. []

Ketua DPP Partai Golkar Bidang Tenaga Kerja dan Anggota Fraksi Partai Golkar DPR