Libya, Bagaimana Akhirnya?

Apa pun alasannya, pengeboman kota Tripoli dan kota-kota lain di Libya oleh pasukan koalisi tidak dapat dibenarkan, bahkan harus dikecam keras. Aksi pasukan koalisi itu bukan saja merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap kedaulatan negara merdeka, tetapi juga pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) karena telah menewaskan warga sipil Libya.

Padahal serangan pasukan koalisi yang terdiri dari Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat (AS) itu dengan dalih melaksanakan mandat PBB untuk menjamin terlaksananya zona larangan terbang dan melindungi warga sipil Libia. Namun, alih-alih melindungi, yang terjadi justru makin banyak warga Libia menjadi korban.

Karena itu, pengeboman oleh pasukan koalisi harus segera dihentikan. Dewan Keamanan PBB harus mendesak negara-negara koalisi agar menghentikan aksi mereka. Jangan biarkan negara-negara kuat menghakimi dan seenaknya melakukan tindakan sepihak terhadap negara yang lebih kecil dengan alasan untuk mengatasi gejolak dan melindungi warga sipil.

Indonesia yang menjalin hubungan baik dan bersahabat dengan Libya, negara-negara Arab, dan Afrika, serta juga mempunyai hubungan baik dengan negara AS, Inggris, Prancis, dan negara-negara Eropa, harus mengambil prakarsa cepat untuk menghentikan serangan pasukan koalisi dan tidak digantikan oleh pasukan NATO.

Pada saat yang sama, Indonesia perlu mendesak agar pemerintahan Moamar Khadafy dan pihak oposisi Libya yang sudah bersenjata segera melakukan gencatan senjata dan berdialog serta berunding, mengupayakan penyelesaian secara damai atas krisis Libya. Kalau diperlukan dan dikehendaki oleh kedua pihak, dapat diundang mediator dari Liga Arab, OKI, dan GNB (Gerakan Non-Blok).

Kalau yang dipertaruhkan adalah eksistensi dan peradaban Libya, rasanya rakyat Libya, baik oposisi maupun Khadafy, harus memilih duduk berdialog dan berunding mencari solusi secara damai. Sudah tentu sangat mungkin dalam dialog itu, oposisi mendesakkan agar Khadafy mundur sebagaimana diekspresikan lewat aksi demonstrasi damai oleh rakyat Libia hampir dua bulan terakhir ini. Khadafy harus menghadapi kenyataan itu dan merespons secara positif. Barangkali melalui dialog, rakyat Libya dan Khadafy dapat menemukan save exit yang mulus bagi Khadafy, tanpa kekerasan dan darah.

Apabila dalam waktu singkat ini upaya dialog tidak dikehendaki oleh pemerintahan Khadafy, dan malah Khadafy berkeras menindas dan membunuh rakyatnya dengan risiko perang saudara yang berkepanjangan, maka masyarakat internasional harus menunjukkan tanggung jawabnya dengan intervensi militer. Ini untuk memaksakan gencatan senjata dan mengadakan perdamaian, yang dalam istilah PBB disebut sebagai peace-making mission.

Dan, itu dapat dilakukan oleh PBB karena diatur dalam Piagam PBB, yaitu apabila dalam satu negara terjadi pembunuhan massal (genocide), atau konflik bersenjata berkepanjangan yang mengancam hidup dan kehidupan rakyatnya. Dalam situasi seperti ini, jangan biarkan negara-negara lain mengambil tindakan sepihak seperti yang terjadi dalam serangan pasukan koalisi. Dewan Keamanan PBB-lah yang harus segera bersidang dan membentuk pasukan PBB dan masuk Libia untuk melaksanakan operasi perdamaian.

Untuk merekrut pasukan PBB seperti itu juga sudah ada standarnya. Biasanya kontributor personel pasukan direkrut dari negara kawasan (Arab, Afrika Utara), dan Eropa. Bukan negara besar, agar terhindar dari sentimen kesemena-menaan penindasan dari negara kuat, serta terjamin bebas dari kepentingan minyak, misalnya, seperti yang banyak diduga belakangan ini.

Semoga yang terbaik bagi rakyat dan negara Libya-lah yang akhirnya dalam waktu tidak terlalu lama menjadi kenyataan.

Memperkuat Pelayanan Sosial di Pedesaan

 

Lebih dari separuh penduduk pedesaan yang tinggal sebagai masyarakat tradisional telah pindah ke kota-kota menjadi penduduk urban. Separuh di antaranya sudah berubah dari penduduk desa yang tradisional menjadi penduduk urban karena daerahnya secara administratif berubah menjadi daerah perkotaan. Atau di antara mereka terdorong sengaja pindah ke kota intuk memperbaiki nasib yang lebih baik ke depan.

Sisanya adalah orang-orang tua yang tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonominya sangat rendah. Mereka menunggu sisa-sisa sawah ladang yang ditinggalkan oleh petani-petani muda berotot yang berubah profesi mengadu nasib ke kota-kota. Merekalah yang melanjutkan hidup dari sawah dan ladangnya. Tetapi, masih ada sebagian lain, karena minimnya pilihan, bekerja sebagai buruh tani dengan sistem pertanian tradisional dan tidak maju-maju.

Cerminan perubahan tersebut turut berpengaruh terhadap sistem pendidikan di pedesaan. Anak-anak dari keluarga petani tertinggal di desa masih tetap mengikuti pelajaran yang relevansinya masih banyak pada upaya pendidikan lebih tinggi, yaitu pada tingkat sekolah menengah atas, atau perguruan tinggi. Sedangkan sekolah-sekolah keterampilan dalam bidang pertanian, agribisnis atau upaya pengolahan sawah dan ladang dengan cara modern hampir nihil. Sekalipun ada, tetapi tidak begitu populer atau tidak banyak peminatnya.

Sementara sekolah menengah kejuruan yang secara teoritis harus segera dibangun seimbang, 50 persen berbanding dengan 50 persen sekolah umum, kurang populer sehingga jumlahnya tidak bertambah sesuai harapan. Anak-anak masih memadati sekolah umum dengan cita-cita meraih pendidikan yang jauh lebih tinggi. Pengerjaan sawah dan ladang dengan cara modern sebagai hasil pendidikan dan pengajaran masih harus terhenti sebagai cita-cita dan impian beberapa kalangan minoritas.

Begitu juga dengan pelayanan sosial kemasyarakatan. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 yang mengamanatkan pengembangan pelayanan sosial berupa pemberdayaan dan perlindungan sosial untuk seluruh masyarakat, masih belum dilengkapi dengan peraturan pemerintah yang mengaturnya. Pembangunan dan pelayanan sosial masih berkutat pada sistem lama, yaitu mencari penderita sosial dan memberikan santunan kepada mereka.

Pemberdayaan dan perlindungan yang bersifat preventif, menjemput bola, sering kali dianggap bukan sebagai bagian dari upaya pembangunan dan pelayanan sosial kemasyarakatan. Justru secara awam, atau bahkan oleh pejabat, dilihat sebagai bagian dari upaya pembangunan ekonomi sehingga ahli-ahli pembangunan sosial harus dipuaskan dengan program program dan kegiatan di panti asuhan atau lembaga setara itu.

Namun, akhir-akhir ini Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) yang baru saja mendapat kepercayaan pemerintah sebagai satu-satunya lembaga koordinasi untuk kegiatan sosial kemasyarakatan, bersama lembaga yang bernaung di dalamnya seperti BK3S sekarang LK3S, K3S dan organisasi sosial lainnya, mulai menggelar program membawa pelayanan dan pembangunan sosial ke pedesaan.

Pembangunan sosial perlu diselenggarakan untuk masyarakat melalui pos-pos pemberdayaan keluarga (posdaya) di pedesaan yang dikembangkan sebagai forum silaturahmi antarkeluarga yang digerakkan bersama-sama secara gotong royong. Dengan asas kebersamaan, keluarga yang tergabung dalam posdaya mengembangkan upaya pemberdayaan keluarga dan membangun perlindungan dengan menghidupkan budaya gotong royong serta budaya peduli sesama anak bangsa.

Untuk menyemarakkan dan memperkenalkan program pelayanan dan pembangunan sosial ke suatu desa, suatu rombongan terdiri dari 65 anggota LK3S Provinsi Lampung, minggu lalu berkunjung ke Jakarta dan Bekasi. Mereka melihat-lihat kiprah masyarakat yang sejak beberapa waktu lalu telah lebih dahulu membawa program sosial itu ke desa-desa dimaksud.

Para peninjau dengan antusias melihat pelayanan dan pembangunan sosial pedesaan di Bekasi. Mereka mengagumi kegiatan tersebut dan melihat bahwa masyarakat di desa dan perkampungan masih memiliki jiwa gotong royong yang cukup kental. Dengan sentuhan yang relatif kecil, budaya dan jiwa gotong royong dapat disegarkan kembali. Keluarga muda yang umumnya dibebani tugas memelihara anak balitanya, dengan semangat gotong royong, berhasil membangun dan mengembangkan pos pendidikan anak usia dini atau PAUD.

Keluarga yang tergabung dalam posdaya di Kota Bekasi juga turut membangkitkan kembali kegiatan pos pelayanan terpadu (posyandu) yang secara khusus melayani pemeriksaan ibu hamil, melayani kesehatan anak balita serta memberi pelayanan keluarga berencana (KB) sesuai dengan ketersediaan tenaga medis atau para medis saat posyandu dibuka.

Kegiatan posyandu yang selama ini dikelola oleh kelompok kerja (Pokja) IV Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) tersebut, termasuk kegiatan untuk penduduk lanjut usia, diserahkan pada kelompok yang sengaja dibentuk untuk maksud tersebut. Para bidan yang ada di posyandu secara khusus terfokus untuk melayani pemeriksaan ibu hamil, anak balita dan KB.

Lebih menarik lagi, rombongan besar dari Lampung itu juga merasa sangat kagum atas terbentuknya kelompok ekonomi mikro dan kecil yang disiapkan oleh posdaya di beberapa desa di Bekasi. Mereka melihat bahwa para pengusaha kecil di desa itu secara gotong royong melatih ibu-ibu dan pasangan muda untuk berlatih keterampilan dan kemudian dibantu dengan modal yang tersedia pada bank-bank yang ada di Bekasi. Bahkan, untuk ke depannya telah ada kelompok yang bergabung dalam usaha bersama dan dikabarkan dalam waktu dekat akan melebur kegiatannya dalam bentuk koperasi.

Kelompok yang di masa lalu pernah mendapatkan arahan bahwa makanan bergizi merupakan makanan tambahan bulanan yang amat penting bagi keluarga, kini telah mendirikan ‘Kebun Bergizi’ di halaman rumah masing-masing. Melalui penjelasan dalam posdaya, program ini dianjurkan bagi keluarga-keluarga yang anggotanya (sang istri, misalnya) sedang hamil, atau mempunyai anak balita yang masih sangat memerlukan makanan bergizi.

Dengan memiliki Kebun Bergizi, mereka bisa mengolah makanan bergizi dengan memanfaatkan hasil kebun sendiri, seperti aneka sayuran, telur ayam atau daging ayam yang dipelihara di halaman rumah masing-masing. Kemudian mereka juga bisa mengonsumsi ikan yang dipelihara di kolam ikan halaman rumah, dan lain-lain.

Kunjungan rombongan LK3S asal Lampung ke Jakarta dan Bekasi tersebut telah membuka mata mereka bahwa bekerja sama dengan cara gotong royong akan membuahkan hasil posotif. Banyak kegiatan bermanfaat dapat dilakukan secara bersama-sama, untuk kepentingan bersama, dan demi kesejahteraan bersama pula.

Posdaya "UMK" Entaskan Kemiskinan

Akhir bulan ini, apabila tidak ada aral melintang, Rektor Universitas Pancasila Jakarta, Prof Dr Edie Toek Hendratno SH MSi, dan pimpinan Lembaga Penelitian Masyarakat (LPM) Ir Iha Haryani SE MM, akan menggelar pameran keberhasilan universitas tersebut di Jagakarsa dan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kegiatan tersebut akan melibatkan 65 posdaya (pos pemberdayaan keluarga) binaan Universitas Pancasila yang bergerak dalam bidang sosial, seperti pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), pendidikan untuk anak remaja, kegiatan ekonomi mikro dan kecil serta pemeliharaan lingkungan melalui program “Kebun Bergizi” di sekitar rumah. Gelar posdaya itu akan melibatkan kesertaan para pengusaha yang perusahaannya ikut mengisi kegiatan posdaya dalam bidang kesehatan sekaligus sebagai dukungan pengentasan kemiskinan melalui usaha mikro dan kecil (UMK).

Seperti diketahui, posdaya adalah forum silaturahmi dan penggerak pemberdayaan oleh kalangan keluarga dan masyarakat secara mandiri. Posdaya yang dibentuk oleh para dosen dan mahasiswa Universitas Pancasila, akhir-akhir ini telah berhasil menarik minat masyarakat dan sponsor. Beberapa perusahaan dengan kesadaran tinggi terlibat untuk sekadar berbagi dana corporate social responsibility (CSR) mereka untuk mengisi kegiatan posdaya di pedesaan.

Posdaya yang dibentuk di Jakarta Selatan umumnya menjadi pelaksana dari upaya pemerintah yang dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2010 tentang pembangunan yang berkeadilan. Upaya tersebut menyangkut tiga program yang sangat penting, yaitu pembangunan pro rakyat yang mengarahkan upaya penanggulangan kemiskinan berbasis keluarga, berbasis pemberdayaan masyarakat dan, pemberdayaan ekonomi mikro dan kecil. Inpres itu juga menggariskan pentingnya upaya pembangunan berkeadilan yang ditujukan untuk anak, kaum perempuan, ketenagakerjaan, hukum dan reformasi hukum, fokus penanganan keluarga miskin dan keluarga yang terpinggirkan.

Oleh karena itu, LPM Universitas Pancasila bersama para mahasiswa yang berminat dalam kuliah kerja nyata (KKN) tematik posdaya telah membentuk 30 posdaya di enam kelurahan di Kecamatan Jagakarsa. Ketiga puluh posdaya yang menjadi percontohan untuk pengembangan posdaya lainnya itu ada yang berasal dari posyandu yang telah berjalan dengan baik, ada pula yang semula merupakan kelompok masyarakat yang rajin arisan di kampungnya, kelompok yang semula mengelola Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan ada yang berasal dari kelompok yang bergerak dalam kegiatan P2K atau kegiatan ekonomi keluarga.

Pada umumnya kelompok yang melakukan kegiatan dalam bidang ekonomi mikro tersebut lebih mudah dikembangkan menjadi kelompok posdaya yang dihubungkan pada kegiatan CSR dari perusahaan yang memberi sumbangan untuk ekonomi mikro dan kecil. Pengembangan posdaya yang berasal dari berbagai kelompok tersebut tidak menghalangi upaya melengkapi kegiatan posdaya yang utamanya bergerak dalam peningkatan index pembangunan manusia (IPM) atau upaya penyelesaian sasaran dan target MDGs.

Di Kelurahan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Universitas Pancasila dan LPM telah membentuk 35 posdaya. Dari beberapa posdaya yang dibentuk tersebut tidak seluruhnya berbasis poyandu yang telah ada, tetapi, seperti di Kelurahan Jagakarsa, ada Posdaya yang asalnya dari kelompok yang kegiatannya sangat bervariasi. Di kelurahan tersebut, seperti di beberapa kelurahan lainnya, tidak sedikit posyandu yang tidak lagi melakukan kegiatan rutin. Karena posdaya mengharuskan penanganan kesehatan, keluarga berencana (KB) dan pemeliharaan kesehatan anak bawah lima tahun (balita), maka pengurus posdaya menganjurkan agar posyandu dihidupkan atau disegarkan kembali.

Tidak jarang pengurus posdaya bekerja keras mencari sponsor sebagai sumbangan berupa makanan bergizi untuk kegiatan posyandu secara rutin untuk anak-anak yang datang di posyandu. Dalam keadaan seperti itu, posdaya menjadi mitra kerja yang sangat efektif untuk pembinaan Posyandu.

Di dua kecamatan itu, dalam kerangka program kerja Posdaya yang mengutamakan empat program pokok, yaitu bidang pendidikan, kesehatan, wirausaha dan lingkungan hidup. Tidak jarang pengurus posdaya menjadi pemrakarsa atau menghidupkan kembali program dan kegiatan-kegiatan posyandu yang di masa lalu sangat marak. Salah satu contohnya, posdaya menjadi acuan beberapa perusahaan untuk membantu kewat orogram Kartu Menuju Sehat (KMS).

Pengurus posdaya bekerja sama dengan perusahaan mencetak KMS agar posyandu dapat aktif menimbang bayi dan anak balita dengan pencatatan yang teratur. Di bagian lain posdaya menjadi perantara untuk mencari sumbangan bagi pengembangan usaha ekonomi mikro dan koperasi dari dana CSR perusahaan yang bersangkutan. Posdaya juga memfasilitasi sumbangan untuk makanan contoh yang kaya gizi sehingga keluarga yang datang ke posyandu dapat mengolah makanan secara mandiri dengan contoh yang diberikan di posyandu tersebut.

Iha Haryani dari LPM Universitas Pancasila berjanji untuk memperbaiki salah pengertian di antara banyak sekali posyandu yang menyajikan makanan bergizi sebagai contoh di posyandu tetapi dianggap sebagai makanan tambahan. Makanan di posyandu bukan – sekali lagi bukan – makanan tambahan. Makanan itu hanyalah contoh agar setiap keluarga bisa meramu makanan untuk anak balita secara mandiri yang jenis variasinya dicocokkan dengan percontohan yang diberikan di posyandu.

Perbaikan gizi anak balita tidak bisa hanya dengan makanan bergizi sebulan satu kali di posyandu tetapi harus dengan teratur diberikan sebagai makanan bergizi setiap hari. Karena itu, pada kegiatan selanjutnya Iha dan kawan-kawan dari Universitas Pancasila akan menganjurkan agar setiap keluarga membangun Kebun Bergizi di halaman rumah masing-masing. Yang diharapkan halaman mereka akan menghasilkan sayuran, yang akan diolah bersama telor, daging guna memenuhi kebutuhan makanan bergizi.

Dalam gelar posdaya itu akan diundang semua pengurus posdaya dan ketua tim penggerak PKK Jakarta Selatan yang ternyata sangat berminat memperluas jangkauan posdaya ke seluruh kecamatan di kota Jakarta Selatan.

Gurita Wikileaks

Drama politik baru muncul setelah dua koran Australia, The Age dan Sydney Morning Herald, memuat pemberitaan tentang Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, sejumlah pejabat dan mantan pejabat negara disebut, begitu pula pengusaha dan politikus. Informasi yang disampaikan menyengat pihak Istana Negara, sehingga memunculkan sikap defensif sekaligus juga mengatakan bahwa apa yang ditulis adalah berita sampah.

Soal kredibilitas, kita tentu paham betapa The Age dan Sydney Morning Herald sudah mendapat tempat di hati rakyat Australia. Di zaman serba terbuka ini, konsumen kedua koran itu bukan hanya masyarakat Australia, tapi juga siapa pun yang bisa mengaksesnya via Internet. Tentu yang pertama adalah konsumen yang berbahasa Inggris. Sementara selama ini para aktivis Indonesia bersusah payah menyodorkan informasi yang layak diberitakan di luar negeri, sekarang justru pihak The Age dan Sydney Morning Herald sendiri yang berinisiatif memuat informasi yang diperoleh dari WikiLeaks.

Apa pula itu WikiLeaks? Banyak pihak kesulitan menempatkan WikiLeaks dalam khazanah informasi modern. Sebagian besar menganggapnya sebagai ancaman, sebagian yang lain justru menganggapnya sahabat. Masalahnya, apakah informasi yang dirilis WikiLeaks layak masuk dalam kualifikasi informasi akurat? Dalam arti sederhana: apakah data-data WikiLeaks bisa masuk dalam khazanah ilmu pengetahuan? Apakah dibenarkan, dalam menulis sebuah karya ilmiah, informasi WikiLeaks dimasukkan sebagai catatan kaki atau bibliografi?

Sebetulnya, ketika informasi dijadikan sebagai salah satu ikon dalam globalisasi, tidak perlu lagi ada kekagetan atas medium yang dipakai. Sebelumnya, terjadi kekagetan ketika film Hollywood tidak bisa lagi diputar di Indonesia, sehubungan dengan kenaikan cukai. Film, dalam konteks ini, juga bukan hanya sebagai seni atau hiburan, tapi juga berisi bermacam informasi yang dijadikan sebagai “alat propaganda”, misalnya. Karena itu, ketika bentuknya berubah menjadi WikiLeaks, layak dilihat sebagai “naskah film yang belum selesai”.

Apakah informasi yang disajikan WikiLeaks termasuk kategori rahasia negara? Sulit menempatkannya pada sisi itu, ketika justru WikiLeaks sedang mencoba melakukan proses penelanjangan global atas negara dan antarnegara. WikiLeaks adalah komunitas yang mengambil risiko fatal dengan cara dijadikan target serangan kelompok yang tidak menyukai.

Tetapi, sampai sejauh ini, belum ada pihak yang berhasil menempatkan komunitas pengelola WikiLeaks sebagai kriminal atau melanggar hukum.

Jadi, apa salah WikiLeaks? Rasa-rasanya berlebihan apabila informasi disalah-salahkan, apalagi atas nama nasionalisme sempit. Untuk urusan keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, jauh lebih detail informasi yang dicoba dikemas oleh George Junus Aditjondro dalam buku yang sangat terkenal: Gurita Cikeas. Buku yang sempat menjadi yang paling dicari ini, serta berharga mahal walau hanya fotokopian, memuat sejumlah nama orang, perusahaan, yayasan, dan lain-lainnya yang berkaitan dengan keberadaan keluarga Cikeas.

Tidak ada penyelidikan atau penyidikan resmi menyangkut informasi yang disampaikan oleh George dalam bukunya itu. Malahan, masalah pribadi mencuat ketika Ramadhan Pohan dari Partai Demokrat membuat laporan ke polisi terkait dengan insiden ketika buku Gurita Cikeas itu didiskusikan. Buku, untuk ukuran apa pun, masih dapat disebut sebagai karya ilmiah, ketimbang informasi yang diedarkan via Internet tapi belum diolah. Untuk menjawab kelemahan sebuah buku, biasanya diperlukan buku lain. Makanya, kisah Adolf Hitler atau Sukarno ditulis berkali-kali oleh orangorang yang sama atau berbeda sama sekali.

Reaksi Istana Negara hampir sama antara kasus buku Gurita Cikeas dan kasus berita yang dilansir oleh The Age dan Sydney Morning Herald. Hanya, untuk kasus terakhir tampaknya pemerintah menyerah. Selain beberapa pihak melakukan klarifikasi dengan hak jawab, misalnya, sama sekali tidak ada upaya untuk membongkar motif-motif yang sudah sengaja dituduhkan, misalnya motif politik atau ekonomi.Yang dilakukan justru mendelegitimasi keberadaan WikiLeaks, sekaligus The Age dan Sydney Morning Herald, yang dianggap tidak melakukan kerja-kerja jurnalistik.

Padahal kasus WikiLeaks ini adalah jalan yang tersedia untuk menguji-coba ketahanan bangsa ini dari terjangan informasi skala global. Anak-anak muda Indonesia semakin banyak yang mampu berbahasa Inggris dengan baik. Informasi yang dipungut dari jalanan akan terasa jauh lebih bernas apabila pihak Istana malahan menutup-nutupi diri. Begitu juga sejumlah politikus, pengusaha, ataupun pejabat yang disebut dalam kawat diplomatik yang dibocorkan WikiLeaks.

Akan sangat bermanfaat bila keterbukaan WikiLeaks dijawab dengan keterbukaan serupa, ketimbang mencoba mencari kambing hitam atas sesuatu yang sudah terlihat seputih kertas.

Kasus WikiLeaks, kasus informasi menyangkut keberadaan Republik Maluku Selatan di Belanda, kasus buku Gurita Cikeas, sampai kasus pencurian data yang dimiliki oleh staf Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa di Korea Selatan, semakin menunjukkan betapa pentingnya informasi. Infor masi bisa diserakkan di atas laptop yang butut maupun tersedia da lam rak-rak yang rapi di per pustakaan. Perburuan dan perebutan atas informasi ini akan menjadi bagian ter penting dari perebutan pe ngaruh di berbagai bidang, baik ekonomi, pertahanan, maupun politik.

Nah, kenapa sekarang justru kasus WikiLeaks ini seakan dicoba ditutup-tutupi? Semakin ditutup-tutupi, semakin sulit bagi bangsa ini untuk belajar menjadi bangsa yang rasional dan tidak sepenuhnya bergantung pada informasi-informasi resmi yang berisi propaganda.

Pengalaman Pemilu 2009 menunjukkan bagaimana informasi resmi dimanipulasi untuk kepentingan pencitraan dengan biaya yang mahal. Akan jauh lebih baik apabila yang diandalkan adalah publik yang rasional, bukan yang mudah diombang-ambingkan oleh secuil informasi yang datang dari luar negeri.

Pertanyaannya, bagaimana kalau WikiLeaks memiliki lebih banyak informasi lagi? Bagaimana kalau justru WikiLeaks memiliki kemampuan yang lebih dari sekadar informasi skala kecil di dua buah koran di Australia? Akankah WikiLeaks menjadi gurita informasi, bukan hanya sebatas buku sederhana Gurita Cikeas? Sebelum WikiLeaks datang dengan air bah informasinya, jauh lebih baik menghadapinya sekarang juga. Jauh lebih baik belajar cara memadamkan api ketika masih berupa lilin. Kalau sudah kebakaran skala besar, perlu banyak tenaga dan daya-upaya untuk belajar sekaligus memadamkan apinya.