Sekalipun sistem otoriter sudah tumbang, namun sisa-sisanya masih hidup dan berkembang. Satu yang terpenting adalah sentralisasi kekuasaan di Jakarta. Sentralisasi itu memang tidak terasa, ketika kata desentralisasi, otonomi atau devolusi diperkenalkan sejak tahun 1999. Dalam prakteknya, hegemoni menggurita. Jakarta semakin kuat, daerah semakin lemah.

Karena itu, Jakarta layak diruntuhkan! Keruntuhan seperti apa? Dari sisi lelaku dan perilaku penguasanya. Jakarta tidak bisa lagi dipimpin oleh tipe pemimpin yang menghela kerbau atau pedati, karena lamban. Citra sebagai kota yang macet, dengan jumlah manusia stress yang banyak di jalanan, selayaknya dihapus. Kota yang terlalu banyak menerima, daripada memberi, dari sisi pendapatan negara.

Meruntuhkan Jakarta dimulai dengan mengganti pemimpin Jakarta secara demokratis. Pilihannya, to be or not to be. Jakarta tidak membutuhkan lagi para pemimpin laksana Hamlet. Keragu-raguan bagi Jakarta adalah kemubaziran, seperti tumpukan beton di Jalan Rasuna Said yang tidak jadi dibangun monorelnya. Apabila tipe Hamlet terus menerus menjadi pemimpin Jakarta, kemacetan tak akan terurai, spiral kekerasan massa terus terulang.

Pemimpin ala Hamlet bisa menjadi Brutus bagi demokrasi, ketika masyarakat kehilangan kesabaran. Kesabaran yang lama dipendam, akibat jalur-jalur tikus juga ikut-ikutan tersumbat macet. Kalau ini yang terjadi, kualitas demokrasi bisa menjadi buruk, karena warga tidak lagi disiplin. Pemimpin ala Hamlet bisa memancing munculnya sikap phobia terhadap demokrasi. Padahal, Jakarta mestinya jadi corong di bidang itu.

Adakah peristiwa budaya yang mampu menginspirasi Indonesia, dari wilayah yang bernama Jakarta selama ini? Rasa-rasanya tidak. Yang ada hanya model pemberian penghargaan oleh para menteri. Sifatnya birokratis, tanpa inovasi, serta penuh seremoni. Contohnya Piala Adipura. Padahal, Jakarta diperlukan bukan untuk itu. Jakarta idealnya menjadi inspirasi bagi belahan Indonesia yang lain.

Begitupula, Jakarta sudah jadi pusat tujuan kehadiran bagi musisi, disainer dan olahragawan dunia. Lagi-lagi, adakah inspirasi dari keseluruhan acara yang menghabiskan anggaran warga itu? Apakah ketika para pesohor itu kembali ke negaranya, tertanam dalam dirinya tentang keindonesia yang penuh nuansa? Pesona etnografis Indonesia, sudahkah menjadi ciri dari Jakarta?

Nasib Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin yang terbengkalai adalah contoh betapa tak pentingnya budaya dan ilmu pengetahuan di era pemimpin Jakarta yang sekarang. Begitujuga dengan contoh-contoh lainnya yang datang setiap hari lewat banyak saluran. Dalam waktu cepat, masalah di Jakarta menjalar ke seluruh daerah. Dari genk motor sampai perilaku pejabat negara yang seenaknya menggunakan jalur Bus Way.

No way! Keadaan berulang itu layak untuk dihentikan. Bukan untuk kepentingan warga Jakarta semata, tetapi untuk Indonesia secara keseluruhan. Perubahan, tidak mungkin bisa dilakukan oleh orang yang sama. Kalaupun bisa, itu membutuhkan waktu yang lama. Kita sudah menyaksikan bagaimana Indonesia dipimpin tanpa inspirasi, walau lewat jalur demokrasi. Akankah juga hal itu juga akan terulang di Jakarta?

Harapan agar Jakarta tidak dipimpin oleh pemimpin model Hamlet tentu tergantung pemilih, terutama pemilih kritis. Para pemilih loyal sulit diharapkan bisa melakukan perubahan. Masalahnya, pemilih kritis bisa dalam waktu singkat menjadi pemilih apatis. Merasa tidak bisa membuat perubahan. Padahal, menurut hasil survei, jenis pemilih kritis inilah yang menjadi faktor penentu perubahan di Jakarta.

Pemimpin Hamlet, pada prinsipnya, lahir dari pemilih Hamlet. Termasuk anda atau sayakah?