JAKARTA – Golkar menargetkan menang dalam pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden pada Pemilu 2014 mendatang.

“Indonesia tidak lagi membutuhkan deadlock politik dan badan eksekutif yang sulit untuk menghasilkan terobosan kebijakan yang baik. Golkar ingin menghindari ini dengan memenangkan keduanya, baik pemilihan presiden maupun suara mayoritas di legislatif,” kata Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie saat menjadi pembicara di Lembaga Persahabatan Indonesia – Amerika Serikat (United States-Indonesia Society/Usindo) di Cosmo Club, Washington DC, Amerika Serikat.

Dalam pertemuan yang dihadiri mantan Presiden Bank Dunia dan mantan Duta Besar AS untuk Indonesia Paul Wolfowitz dan sejumlah mantan Duta Besar RI untuk AS itu, Aburizal bicara tentang proses demokrasi di Indonesia dan posisi Partai Golkar tahun 2014. Dalam pertemuan itu hadir pula Duta Besar RI untuk AS Dino Patti Djalal.

Dalam siaran tertulis yang diterimaSuara Karya kemarin, Aburizal mengatakan, Golkar adalah partai tertua di Indonesia dengan pengalaman panjang dalam kekuasaan. Partai Golkar, menurutnya, cepat menanggapi dengan reposisi dan reformasi itu sendiri, ketika negara berubah memasuki periode demokratisasi.

Partai Golkar Targetkan Kemenangan Total “Kami sangat mendukung semangat baru demokrasi, sambil menata identitas dasar sebagai partai yang berjuang untuk pembangunan, kesejahteraan sosial, stabilitas, dan pemerintahan yang kuat namun bertanggung jawab,” katanya.

Dijelaskannya, meskipun Golkar berada di posisi kedua dalam Pemilu 2009, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Golkar merupakan partai dengan jaringan regional yang paling luas dan besar keanggotaannya. “Saat ini, lebih dari 50 persen dari seluruh gubernur dan wali kota yang telah memenangkan pemilu lokal adalah anggota atau calon yang didukung oleh Golkar,” ujarnya.

Hal ini menempatkan Golkar pada posisi strategis untuk memenangkan Pemilu 2014. “Saya berharap Golkar menang di suatu tempat sekitar 30 sampai 35 persen dari suara nasional. Ini terhormat, tetapi tidak akan cukup. Kita akan harus membentuk koalisi dengan partai lain untuk mengendalikan parlemen,” katanya.

Di kesempatan itu, Aburizal juga menjelaskan soal demokrasi di Indonesia yang telah berhasil melalui masa transisi sejak krisis ekonomi tahun 1998. “Berkat kegigihan masyarakat, kita bertahan dan selamat. Ujian dan cobaan di periode itu membuat kita makin kuat,” kata Aburizal Bakrie yang akrab disapa Ical.

Indonesia, menurut Ical, kemudian berkembang menjadi negara demokrasi yang lebih terbuka, memberi kebebasan untuk berekspresi, dan menjamin perlindungan hak asasi manusia. Tapi, karena keragaman budayanya, maka Indonesia harus tetap menjaga dan mengembangkan toleransi antarumat beragama.

“Sejumlah hal buruk telah terjadi seperti bom di Bali, konflik berdarah di Ambon dan Poso. Ini merupakan ujian terhadap komitmen dan keinginan politik kami untuk menjaga keharmonisan sosial dan agama, sesuai dengan falsafah Bhinneka Tunggal Ika, atau yang dikenal masyarakat Amerika dengan sebutan E Pluribus Unum,” kata Ical.

Ical pun menyoroti pentingnya menjaga iklim yang bagus untuk pertumbuhan ekonomi. “Yang bisa berkembang mencapai 8 hingga 9 persen per tahun, bahkan lebih baik,” ucapnya.

Penegakan hukum, menurut Ical, juga menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Apalagi, pemberantasan korupsi masih menjadi masalah yang belum bisa diselesaikan secara signifikan.

“Tanpa reformasi institusi hukum dan keadilan, tanpa reformasi pengelolaan ekonomi, saya khawatir pemberantasan korupsi hanya sesuatu yang berjalan di permukaan,” kata Ical.

Konflik Papua

Dalam kesempatan itu Ical juga menyinggung masalah yang terjadi di Papua. “Solusi untuk Papua bukan kemerdekaan politik, tapi pembangunan perdamaian, supremasi hukum, menghormati, moderasi. Dan, di atas semua, kesejahteraan sosial atas ketertinggalan Papua dibandingkan dengan daerah lainnya,” ujarnya.

Dengan pengalaman yang pernah dijalankannya sebagai Menko Kesra, Aburizal lagi-lagi mengungkapkan berbagai program kesejahteraan yang sudah dijalankannya. (Rully)