Blog Mushab Muqoddas
Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia terutama Tenaga Kerja Wanita ke luar negeri dapat dikatakan pertama kali ketika Departemen Tenaga Kerja dipimpin oleh Bapak Sudomo di era awal-awal Orde Baru. Program ini pada awalnya diharapkan membantu perekonomian Indonesia yang ketika itu sulit didapat lapangan kerja di dalam negeri.
Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri pada hakikatnya adalah program yang baik selain mengurangi jumlah pengangguran di dalam negeri, juga menambah devisa negara di luar negeri. Akan tetapi, pada perjalanannya, citra bangsalah yang menjadi taruhannya.
Bangsa Indonesia dewasa ini terutama di kawasan Timur Tengah lebih khusus Kerajaan Saudi Arabia, jika berada di negara tersebut, jika pasti sering disebut ‘Khadimah” atau pelayan wanita karena saking banyaknya Tenaga Kerja Wanita kita di negara tersebut dan lebih lagi diperlakukan sebagai budak oleh majikannya. Sampai-sampai, dalam sebuah acara Dharma Wanita Persatuan para istri pejabat Konjen RI Jeddah, pernah ada seorang warga negera setempat yang berteriak, “Ada yang mau jadi Pembantuku ?”
Ucapan dalam berbagai pertemuan diplomatik bahwa Indonesia adalah negara sahabat serta saudara seiman dan merupakan negara Islam terbesar yang sering diucapkan oleh negara-negara lain seperti negara-negara Arab, perlu dipertanyakan. Jika benar saudara, kenapa Tenaga Kerja Indonesia khususnya Tenaga Kerja Wanita diperlakukan seperti budak dengan perlakuan yang tidak manusiawi.
Citra bangsa Indonesia benar-benar dipertaruhkan. Sedangkan para PJTKI yang tidak bertanggung jawab, yang dimana telah memulai mencari ‘mangsa’ sejak dari desa-desa, yang mendapatkan uang banyak. Tentu saja pengiriman TKI/TKW apalagi yang illegal sama halnya dengan Perdagangan Manusia yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang merupakan penjewantahan dari ajaran Ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan.
Bukankah Rasulullah SAW sendiri pada hakikatnya menyampaikan risalah kenabian untuk menghilangkan perbudakan ? Bukankah perlakuan baik kepada para budak ketika itu dan banyak yang dibebaskan menjadi status orang merdeka merupakan ajaran dan perintah ? Bukankah siapapun yang tidak melaksanakan perbuatan baik Nabi Muhammad SAW bukanlah pengikutnya ?
Komoditas perdagangan masa lalu yang dimana manusia masih dapat dikatakan sebagai komoditas perdagangan, tentu saja kembalinya perilaku demikian bukanlah apa yang kita inginkan. Manusia adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang ditugaskan untuk mengelola bumi sebagai Khalifah, dan cara pengelolaannya telah digariskan melalui ajaran-ajaran ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan, bukan untuk saling memperdagangkan sesama manusia.
Jika memang masalah utama dalah lapanga kerja di dalam negeri, maka sudah sepatutnya, pemerintah menyediakan lapangan kerja serta membantu masyarakat memutar keuangan di desa sehingga dapat membangun desa. Salah satu kelebihan Indonesia adalah keanekaragaman budaya dan berbagai hasil seni karya kreasi bangsa Indonesia. Sebut saja batik dan ayaman rotan yang merupakan warisan budaya. Perbanyak batik, untuk dipakai dan otomatis akan meningkatkan hidup para pengerajin batik. Sebuah kota bernama Cirebon memiliki sekitar 1700 Tenaga Kerja yang di mana terserap di daerah sendiri sekitar 100 Orang, terserap di luar daerah sekitar 200 orang dan terserap di luar negeri terutama Timur Tengah sebanyak 1400 orang.
Alasan tidak adanya lapangan kerja adalah alasan yang perlu dievaluasi pada masa kini terutama pasca Krisis Keuangan Global yang di mana perdagangan sektor industri sangat lemah akan tetapi sektor pertanian sebagai dasar hidup manusia sangat penting dan sudah saatnya kembali meningkat. Oleh karena itu, Indonesia yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian petani, jangan sampai kerja di luar negeri untuk mengelola pertanian negara lain, kelolalah pertanian kita, tanah lahir kita, niscaya kita yang akan memetik hasilnya. Kita yang akan maju menyaingi negara-negara yang selama ini meremehkan kita. Pemerintah sangat diharapkan perannya dalam pembinaan dan pengembangan masyarakat dalam pertanian dan juga nelayan.