Blog Mushab Muqoddas

 
Deradikalisasi dan Desekulerisasi
13. Desember 2010 - 5:59 | by Mush'ab Muqoddas

Belakangan ini kita sering mendengan kata Deradikalisasi yang didengungkan oleh presiden RI bapak SBY beberapa bulan lalu. Pemahaman deradikalisasi sendiri yang kita dengar adalah upaya untuk menjaga agar masyarakat tidak terdampak virus radikalisasi pada pemahaman agama sehingga dapat merusak tata masyarakat dengan tindakan-tindakan kriminal seperti terorisme dan adu domba yang berujung konflik dengan mengatasnamakan agama.

Memang kita tidak dapat memungkiri bahwa radikalisasi akan berdampak buruk pada masyarakat sehingga masyarakat hanya disibukkan dengan memperdebatkan berbagai permasalahan yang tidak perlu diperdebatkan atau diperpanjang perdebatannya. Sehingga perdebatan-perdebatan tersebut hanya mengurung masyarakat pada penjara hampa yang mengaibatkan cara berfikir masyarakat hanya berusaha untuk memenangkan perdebatan bukan berfikir untuk menciptakan kreatifitas baru atau berfikir untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi.

Maka, tidak heran jika presiden SBY mendengungkan upaya deradikalisasi untuk mencapai Millinium Development Goals yang salah satunya adalah memajukan cara dan daya piker masyarakat sehingga dapat menjawab tantangan perubahan zaman yang semakin berkembang. Untuk mencapai sebuah tujuan yang baik inilah, segala lini dan sektor pemerintahan dijalankan baik melalui bidang politik ataupun sosial budaya dan akademik.

Perkembangan zaman inilah yang menjadi perhatian pemerintah agar masyarakat mampu menyesuaikan diri dengan perkembangannya. Salah satu permasalahan penting yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dan juga masyarakat adalah berbagai upaya sekulerisasi yang tanpa sadar di tengah perkembangan zaman menyerang sendi-sendi masyarakat yang berujung pada hancurnya budaya dan masyarakat itu sendiri.

Jika masyarakat sudah kehilangan budaya dan pegangan (agama) dengan tidak lagi memahami pemahaman agama yang benar maka masyarakat akan mengalami pemudaran pada pemahaman agama yang kemudian dapat digunakan untuk kepentingan tertentu termasuk kepentingan politik untuk mencapai kekuasaan. Bahkan agama digunakan untuk melancarkan fitnah karena bagaimanapun juga telah menganggap agama hanya sebutir kata yang dapat dipermainkan semau sendiri.

Padahal agama adalah landasan hidup yang sudah selayaknya dipatuhi dan merupakan pegangan agar tidak lupa arah dalam menjalani hidup ini. Memang dalam sejarah manusia agama selalu dijadikan alasan terjadinya peperangan baik sejak zaman Fir'aun, Persia, Eropa atau zaman sekarang ini. Akan tetapi pada hakikatnya justru akan ada sebuah pertanyaan, apakah agama mengajarkan peperangan.

Bukankah pada zaman Nabi Muhammad SAW dan para Khulafa Rasyidin RA agama bukan menjadi alasan untuk melakukan peperangan. Bukankah perluasan wilayah sejak zaman Ash-Shiddiq dan Al-Faruq dikarenakan untuk mempertahankan wilayah dari ancaman serta permintaan penduduk Irak dan Mesir yang dianiaya oleh Romawi dan Persia. Bukankah Islam tidak memaksa dan kenapa pada zaman sekarang banyak melakukan pemaksaan atas nama agama.

Badiuzzaman Said Nursi menuturkan bahwa penyakit umat Islam saat ini adalah kebodohan, kemiskinan dan konflik serta menawarkan obat berupa pendidikan, perbaikan perekonomian dan perindustrian serta persatuan yang didasari oleh harapan, persaudaraan dan kejujuran. Al-Qur'an tidak akan berubah walaupun banyak yang mempermainkan pemaknaan, penafsiran dan pemahaman Al-Qur'an yang merupakan bagian dari upaya sekulerisasi dan radikalisasi yang keduanya membahayakan umat Islam dan semakin mengaburkan agama Islam yang Rahmatan Lil 'Alamien.

KH Ahmad Dahlan sendiri mempertanyakan bagi orang yang menginginkan agama sebagai asas partai politik apakah sudah benar-benar memahani Islam dan benar-benar berani Islam karena Islam bukanlah sebutir kata yang dapat dipermainkan apalagi hanya untuk kekuasaan. Islam merupakan agama yang membimbing manusia mencapai sebuah peradaban bermutu bukan sebutir kata yang dapat seenaknya digunakan untuk merebut kekuasaan semu.

Pada tengah amukan zaman yang semakin mengglobal ini berbagai bentuk krisis yang melanda masyarakat banyak baik berupa krisis ekonomi yang mengakibatkan kekurangan harta serta krisis akhlak yang mengakibatkan semakin hilangnya nilai-nilai kebaikan dengan saling menfitnah untuk mencapai atau mendapatkan sesuatau seperti harta dan kekuasaan dengan segala cara termasuk memfitnah. Baik sekulerisasi dan radikalisasi sama-sama gerakan yang ditumbuhkan dengan penuh rasa kekerasan, paksaan dan teror untuk mengikuti apa yang dinamakan radikalisasi dan sekulerisasi seperti di Saudi Arabia dan Turki beberapa dekade yang lalu.

Nah, pemahaman pemikiran yang bagaimana yang perlu kita resapi agar sebagai kader umat Islam Indonesia kita tidak terpengaruh oleh pemikiran dan gerakan radikalisasi dan sekulerisasi yang kedua-duanya menggunakan nama agama. Syaikh Usamah pada salah satu Halaqah Talaqqi di Ruwaq Al-Atrak beberapa bulan lalu mengungkapkan bahwa Al-Azhar mengajarkan ajaran-ajaran Islam yang moderat walaupun memiliki sistem pendidikan yang sangat 'fundamental' di mana seleksi untuk menjadi seorang pengajar di Al-Azhar baik di kampus, sekolah atau pun di masjid tidaklah mudah. Harus benar-benar teruji keilmuan dan kemurnian pemikiran dan perasaannya, dalam hal ini adalah ketakwaannya. Karena, Al-Azhar sebagai benteng keilmuan umat Islam berkewajiban menjaga nilai-nilai setiap ajaran Islam untuk dapat diresapi oleh seluruh kader umat Islam dari berbagai belahan dunia atau pun dari Mesir sendiri.

Kadang kita melihat atau mungkin sering menyaksikan beberapa kawan kita yang duduk di bangku Al-Azhar akan tetapi memiliki pemikiran yang berkiblat ke Amerika dan Saudi dan mungkin lupa bahwa dia sedang berada di Al-Azhar yang menjaga kemurnian keilmuan Islam. Sehingga bukan pelajaran dari Al-Azhar yang dilaksanakan atau diajarkan ke masyarakat akan tetapi pemikiran-pemikiran lain yang bertolak belakang dari pelajaran Al-Azhar yang menjaga tradisi dan pemikiran klasik yang baik dan mengambil tradisi dan pemikiran modern yang mungkin lebih baik sesuai kondisi dan zamannya. Seperti contoh tradisi keilmuan dari emperan masjid menjadi bangku universitas dan pemikiran politik kerajaan sampai demokrasi yang berlandaskan asas nilai ajaran Islam yang Rahmatan lil 'Alamien.

Kita perlu melihat sebagai kasus sample dalam sejarah umat manusia yaitu sejarah Eropa yang pada abad pertengahan dengan mengatasnamakan agama melakukan teror kepada masyarakat dan pada zaman modernisme pun melakukan teror kepada masyarakat untuk melawan agama. Sebagai orang Mukmin yang derajatnya lebih tinggi dari orang kafir, tentu kita akan dipertanyakan keimanan kita jika kita mengatasnamakan kader umat Islam melakukan hal yang sama dengan melakukan tindakan teror karena merasa benar.

Maka benarlah apa yang termaktub dalam Al-Qur'an Al-Qadim, demi waktu sesungguhnya manusia memang dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan bekerja dengan baik dan menghasilkan kebaikan serta saling menasehati dalam dan untuk kebaikan dan kesabaran dalam mengarungi samudra kehidupan. Waktu akan habis jika kita hanya saling menghujat dan mengkafirkan satu sama lain. Dan waktu akan bermanfaat jika kita gunakan untuk meningkatkan keimanan dan berupaya bekerja menghasilkan kebaikan serta saling menasehati dalam dan untuk kebaikan dan kesabaran dalam mengarungi samudra hidup yang penuh ombak fitnah.

Karena ketiga poin tersebut yaitu meningkatkan keimanan, pekerjaan yang menghasilkan kebaikan dan saling menasehati dalam dan untuk kebaikan merupakan senjata maknawi yang terbaik untuk melawan radikalisasi dan sekulerisasi. Bukan dengan senjata dan hujatan.