“The Untouchables” KPK

Penahanan para mantan anggota DPR periode 1999-2004 dengan tuduhan menerima suap cek pelawat dalam skandal pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom mengundang kontra dari berbagai kalangan. Bahkan, hal ini memicu perlawanan dari fraksi-fraksi di DPR.

Terlepas dari persoalan tersebut, perseteruan antara KPK dan DPR mestinya tidak perlu terjadi. Namun, bila dicermati, gebrakan yang dilakukan KPK dengan menahan para mantan politikus Senayan itu memang berimplikasi politik yang luar biasa. Pertama, menyangkut konstruksi hukum yang ditetapkan KPK sebagai landasan hukum untuk menjerat tersangka yang diduga menerima suap, dengan Pasal 5 Ayat (2) jo Pasal 5 Ayat (1) huruf a dan b, serta Pasal 11 UU No.31/1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP.

Penerapan pasal tersebut sangat sumir, karena jika deliknya penyuapan, idealnya KPK menghadirkan tersangka yang telah melakukan penyuap­an. Persoalannya, kenapa sudah hampir tiga tahun KPK tak mampu menghadirkan pemberi suap? Kedua, ada kesan KPK telah melakukan kriminalisasi dan politisasi kasus DGS BI. Dalam konteks kasus DGS BI, yang menjadi objek adalah parpol-parpol yang tergabung dalam barisan pendukung koalisi maupun oposisi (PDIP).

Ketiga, KPK sering kali berstandar ganda, bahkan melampaui batas kewenangan untuk mengadili seseorang di luar pengadilan. KPK sering kali tidak berdaya menyentuh pihak-pihak yang diduga keras terkait langsung dengan kasus tersebut. Padahal, sudah ada beberapa nama seperti Nunun Nurbaeti Daradjatun dan Arie Malangjudo, termasuk menetapkan status Miranda Goeltom sebagai tersangka. Kegagalan KPK menyentuh orang-orang yang untouchables justru merusak kredibilitas KPK sendiri, karena dalam konteks hukum antara penyuap dan penerima suap pastilah memiliki kausa­litas (sebab-akibat) yang sa­ngat erat hubungannya.

Diakui atau tidak, testimoni tersangka mafia pajak Gayus Tambunan di pengadil­an beberapa waktu lalu menjadi kotak pandora untuk membongkar tabir kebobrokan penegakan hukum. Jadi, bukan tidak mungkin kriminalisasi hukum yang dilakukan lembaga seperti PMH atau KPK hanya menjadi bagian dari kekuasaan.

Seperti yang dialami mantan Ketua KPK Antasari Azhar dengan berbagai konspirasi politik mulai dari isu perse­lingkuhan, penyuapan, sampai pembunuhan, adalah skenario yang sengaja diciptakan peme­rintah. Ini karena ada dua dosa besar yang dilakukan Antasari saat menjabat sebagai Ketua KPK, yakni rencana membongkar dugaan korupsi, manipulasi, serta rekayasa kasus daftar pemilih tetap (DPT) yang luar biasa, sekaligus mempermasalahkan salah satu pasangan pemenang Pilpres 2009 lalu, termasuk rencana membongkar skandal Century Gate yang melibatkan pihak-pihak yang untouchables. Buktinya, sampai sekarang KPK tidak mampu mengusut skandal Century dan mem­buka kotak pandora korupsi KPU.

“Miranda Gate”

Sejak KPK menahan tersangka suap skandal Miranda Gate, secara spontan terjadi konsolidasi politik antarsesama parpol pendukung koalisi pemerintah seperti Golkar, PKS, Hanura, dan PPP di Senayan untuk melakukan serangan balik, melalui pengajuan Hak Angket Perpajakan sampai rencana menghidupkan kembali Tim Pengawas skandal Bank Century yang sengaja dijadikan sandera politik oleh DPR. Bahkan, kabar terakhir menyebutkan bahwa Miranda Goeltom justru memiliki kartu truf skandal Century seperti yang di­sampaikan Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo.

Sekiranya sinyalemen itu benar, wajar saja bila KPK menjadi tidak berdaya menetapkan Miranda Goeltom sebagai tersangka. Jika sampai Miranda Goeltom ditetapkan sebagai tersangka, bukan tidak mungkin dirinya akan mengikuti jejak Gayus Tambunan, memberikan testimoni soal keterlibatan pejabat tinggi negara dalam skandal Century yang bukti penyalahgunaan wewenangnya terang benderang. Bahkan, per­nyataan Presiden SBY dan perintahnya terhadap aparat penegak hukum untuk mengusut skandal Century hingga tuntas, justru menambah daftar dosa kebohongan. Ini karena instruksi tersebut sama sekali tidak terbukti. Pemerintah keukeh menutupi kasus tersebut, termasuk melakukan pembiaran politik dan merelakan mantan Menkeu Sri Mulyani menjadi Managing Director World Bank.

Terakhir pernyataan politikus senior Golkar Fahmi Idris yang memberikan testimoni soal keberadaan Nunun Nurbaeti Daradjatun yang menetap di Thailand sejak 16 Mei 2010. Lagi-lagi, kondisi ini membuktikan bahwa KPK bukanlah lembaga independen yang diharapkan mampu membongkar skandal mega korupsi. Bahkan, sejak KPK terbentuk pada 2004, antara prestasi dan kinerjanya sangat jauh dari harapan. Ini karena selama Semester I-2010 hanya ditemukan 176 kasus yang terjadi di pusat dan daerah, sedangkan pelaku korupsi 441 orang dengan kerugian negara sebesar Rp 2,1 triliun. Dari jumlah itu, KPK hanya mampu menyelamatkan uang negara sebesar Rp 175,9 miliar, sementara biaya operasionalnya Rp 265 miliar.

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa skandal Miranda Gate memiliki dampak politis yang sangat luas. Ini karena bukan rahasia umum lagi bahwa fit and pro­per test di DPR pasti memiliki nuansa politis yang sangat kental. Apalagi publik memahami Miranda Goeltom memiliki hubungan emosional de­ngan PDIP. Sekiranya KPK benar-benar murni mengedepankan prinsip hukum dan menjunjung tinggi asas persamaan di hadapan hukum atau equality before the law, seharusnya semua anggota komisi saat itu dijadikan sebagai tersangka tanpa terkecuali. Logikanya, jika memang ada aliran dana saat fit and proper test, pastilah semua anggota komisi mendapatkan bagian.

Politisasi Hukum

Terbongkarnya skandal suap cek pelawat dalam pemi­lihan DGS BI Miranda Goeltom pertama kali dikemukakan mantan anggota FPDIP Agus Condro Prayitno yang mengaku menerima 10 lembar cek pelawat senilai Rp 500 juta pada pertengahan 2008. Secara implisit, testimoni Agus Condro membuka aib partainya yang bermain dalam pemilihan DGS BI tersebut.

Akibatnya, empat politikus partai yaitu Dudhie Makmun Murod (PDIP), Udju Juhaeri (TNI/Polri), Endin AJ Soefihara (PPP), dan Hamka Yandhu (Golkar) lebih dulu menikmati vonis pengadilan Tipikor karena terbukti menerima cek pelawat bersama rekan-rekannya. Persoalannya, setelah KPK berhasil menetapkan tersangka, kenapa masih ada babak kedua untuk mengkrimina­lisasi 26 anggota DPR lainnya?

Padahal, saat fit and proper test pemilihan DGS tersebut terdapat 41 anggota yang hadir dari 53 jumlah anggota komisi. Apalagi dalam persidangan Tipikor, majelis hakim saat itu memutuskan uang yang diterima empat politikus partai berasal dari Komisaris PT Wahana Esa Sejati, Nunun Nurbaeti Daradjatun. Persoalannya kemudian, kenapa sampai saat ini KPK tidak berhasil menghadirkan Nunun Nurbaeti dalam pengadilan Tipikor? Sangat aneh jika yang memberikan suap justru tidak tersentuh, sedangkan yang menerima suap justru mendapatkan ganjaran.

Oleh karena itu, dapatlah dipahami penahanan para politikus parpol yang dilakukan KPK tak lepas dari politisasi hukum yang dilakukan pemerintah, setelah gagalnya Satgas PMH mempolitisasi kasus Gayus Tambunan yang dijadikan pintu masuk untuk menyeret politikus parpol, termasuk Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Ini karena testimoni Gayus membuktikan keterlibatan Satgas PMH dalam konspirasi tersebut, meski pada akhirnya justru Presiden SBY mem-back up keberadaan Satgas PMH.

Apalagi Presiden SBY berjanji akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi sebagai ikon. Ini tak lebih hanya retorika pencitraan untuk mendapatkan simpatik publik. Tampaknya, politik pencitraan ini sudah harus berakhir, apa­lagi setelah tokoh lintas agama mempersoalkan kebohongan yang dilakukan pemerintah karena tak mampu merealisa­sikan janji-janji politiknya.

Artinya, pemerintahan SBY-Boediono gagal menegakkan supremasi hukum sebagai panglima, bahkan hukum hanya dijadikan alat kekuasan untuk menghabisi lawan-lawan politiknya. Meski bukan rahasia umum lagi, keberadaan lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK mendapat stigma negatif dari masyarakat. Dengan demikian, penahanan terhadap politikus parpol harus menjadi pembelajaran bagi semua elite parpol supaya berhati-hati dalam memilih mitra koalisi. Apalagi KPK sebagai lembaga independen belum sepenuhnya bisa diharapkan.