Bangsa yang besar ini sekarang jadi bangsa yang malang. Bukan karena kesalahan rakyatnya, melainkan akibat ketiadaan keseriusan aparatur hukum dan pemerintahan dalam menyelesaikan persoalan. Bulan Desember 2011 ini saja mengemuka persoalan lahan dan konflik di belahan Barat, tepatnya di Mesuji yang terletak di wilayah Lampung dan Sumatera Selatan.

Dari belahan timur, menyeruak persoalan di Bima, Nusa Tenggara Barat, ketika aparat keamanan membubarkan aksi mahasiswa dan petani dengan tembakan. Korban nyawa tak terelakkan.

Sementara, kalender pemilu mulai berjalan. Proses seleksi 14 calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah dimulai di tahap awal yang dilakukan oleh pemerintah. Ke-14 nama itu akan dipilih sebanyak 7 orang untuk menjadi komisoner yang menjalankan pemilu legislatif 2014 dan pemilihan presiden dan wakil presiden 2014. Belum lagi kesibukan di DPR RI untuk menyelesaikan paket undang-undang bidang politik. Proses itu berjalan bersamaan.

Yang juga sudah dimulai adalah konsolidasi di kalangan peserta pemilu, yakni partai-partai politik. Daftar nama calon presiden dan wakil presiden sudah mulai dimunculkan. Masyarakat yang semakin kritis malah seperti tak membutuhkan partai-partai politik, terutama akibat banyaknya kasus korupsi yang melibatkan politisi dan penyelenggara negara lainnya. Hanya saja, kita patut bersyukur, mengingat mayoritas rakyat mendukung demokrasi dengan segala resiko negatifnya.

Catatan lain, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sepertinya lebih banyak terlibat dalam agenda-agenda internasional, baik yang diadakan di Indonesia ataupun di luar negeri. Bahkan peluncuran bukunyapun dilakukan di Paris, Perancis. Kalaupun “terdengar” bersuara dalam masalah-masalah dalam negeri, lebih banyak masuk ke persoalan manajemen pemerintahan. Agenda-agenda besar sepertinya kurang dikumandangkan, terutama di bidang perlindungan warga negara dari perilaku aparatur pemerintahan yang jauh dari prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Padahal, presiden memiliki segalanya untuk melakukan kampanye apapun. Presiden adalah panglima tertinggi angkatan laut, darat dan udara, serta atasan langsung dari Kapolri dan Jaksa Agung. Masalah sepertinya dibiarkan berlarut, misalnya menyangkut GKI Yasmin di Bogor. Dalam penyelesaian masalah Papua, Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) kurang mendapatkan dukungan logistik, sumber daya manusia dan payung regulasi. Masalah pertanahan yang mestinya menjadi pekerjaan utama Badan Pertanahan Nasional (BPN) kurang menampakkan hasil. Kaum tani makin terjepit dalam pusaran arus liberalisasi di bidang pertanahan.

*** Satu Tahun Terakhir

Mau tidak mau, pemerintahan ke depan layak menyusun skala prioritas dari segala-macam carut-marut persoalan negeri ini. Dan semuanya itu berujung kepada kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono. Kinerja ekonomi sudah relatif baik, terutama oleh kemampuan Wakil Presiden Boediono bersama timnya yang menjalankan prinsip “banyak bekerja, sedikit bicara”. Makanya, saya termasuk yang tidak sependapat dengan argumen bahwa bangsa ini dipimpin oleh auto pilot. Kita punya sejumlah pemimpin, baik di dalam atau di luar pemerintahan, namun tidak semuanya mendapatkan porsi pemberitaan yang maksimal akibat banyaknya masalah.

Prioritas masalah yang patut dikerjakan dalam setahun ke depan adalah keadilan sosial menyangkut pertanahan. Tanah di Indonesia tidak semuanya milik negara, melainkan juga milik perseorangan, ulayat ataupun kaum adat. Pesatnya usaha eksploitasi kekayaan alam Indonesia berupa tambang, serta proses pembangunan infrastruktur yang membutuhkan lahan, pastilah bersentuhan dengan tanah. Belum lagi usaha perkebunan besar yang mayoritas adalah Penanaman Modal Asing. Silang-sengkarut masalah pertanahan muncul akibat ketidak-jelasan soal kepemilikan atas tanah.

Masalah lain terkait dengan posisi aparatur penegak hukum dan penjaga keamanan. Polisi, dalam hal ini, menjadi instansi yang paling disoroti. Sepanjang tahun 2011 ini begitu banyak konflik yang terjadi antara warga dengan polisi, mulai dari persoalan sederhana seperti salah tembak, salah tangkap, sampai salah prosedur sengketa perusahaan dengan warga. Posisi polisi sebagai pelindung masyarakat menjadi kehilangan makna, ketika yang terjadi justru sebaliknya. Karena itu, perlu usaha yang serius dari internal dan eksternal kepolisian untuk mengembalikan posisi polisi sebagai instansi yang dipercaya publik.

Yang lain adalah semakin banyaknya persoalan yang terkait dengan menurunnya kekuatan infrastruktur fisik seperti jembatan dan jalan. Publik teraniaya di jalanan, selama berjam-jam dan berhari-hari, hanya karena kemacetan lalu lintas, termasuk di pelabuhan penyeberangan. Anggaran bidang infrastruktur malahan digunakan untuk kepentingan di luar itu atau bahkan terindikasi dikorupsi oleh pejabat publik. Bencana alam semakin menambah tingkat kerusakan. Prioritas penggunaan anggaran di bidang infrastruktur ini diperlukan, sehingga lalu lintas barang dan manusia semakin lancar. Keselamatan manusia juga hendaknya makin terjamin.

***

Tentu prioritas lain juga susul-menyusul. Ada agenda-agenda di bidang legislasi yang melibatkan pemerintah dan DPR. Ada agenda-agenda di bidang hukum yang terkait dengan lembaga yudikatif, termasuk prosedur penyidikan, penyelidikan sampai penuntutan di kepolisian dan kejaksaan. Ada juga agenda di bidang pertahanan yang menyangkut posisi Indonesia sebagai negara yang berbatasan dengan sepuluh negara lain. Semakin banyak inventarisasi agenda-agenda persoalan itu, lalu dilakukan kajian yang bersifat empiris, serta diusung sebagai agenda bersama oleh elemen-elemen penting warga negara – termasuk masyarakat sipil dan pers –, maka semakin jelas arah perjalanan bangsa ini ke depan.

Yang patut digaris-bawahi adalah semakin terbatasnya waktu yang dimiliki, terutama oleh pemerintah dan legislatif hasil pemilu 2009. Tahun 2012 bisa dikatakan sebagai tahun terakhir untuk menyelesaikan agenda-agenda besar itu. Soalnya, terus-terang saja, tahun 2013 adalah tahun kalender politik nasional. Sistem multi-partai tanpa pemenang mayoritas menyebabkan setiap elemen partai politik di pemerintahan dan di luar pemerintahan akan bekerja keras memenangkan pemilu.

Belum lagi pilkada yang berlangsung di provinsi dengan jumlah penduduk besar yang berlangsung tahun 2012-2013, seperti DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Seluruh elemen partai politik dipastikan akan terlibat penuh dengan agenda pilkada yang berjalan, selain mempersiapkan diri di seluruh area untuk pemilu 2014. Akibatnya, bisa jadi nantinya akan sedikit sekali pihak yang mengurus pemerintahan, apabila semakin banyak pimpinan partai politik yang berada di eksekutif dan legislatif yang bekerja untuk pilkada.

Tidak adanya “jeda pilkada” di Indonesia, akibat pelaksanaannya yang tidak serentak, menimbukan implikasi berupa campur-aduknya kerja di pemerintahan (publik) dengan kerja di ranah politik praktis. Model pilkada di Indonesia juga memunculkan persoalan dengan ketiadaan partai oposisi, karena semua partai politik saling bekerjasama di daerah.

Singkatnya, perlu penegasan komitmen dari elemen partai-partai politik untuk bekerja lebih keras demi publik. Komitmen itu ditambah dengan pemberian konduite kepada partai-partai politik yang memang menempatkan posisi dengan baik, di satu sisi bekerja di level pemerintahan pusat dan daerah, di sisi lain melakukan diferensiasi dengan program-program internal kepartaian. Pendidikan politik juga ditujukan ke arah itu, sehingga tidak mudah muncul generalisasi. Karena sistem politik di Indonesia sepenuhnya bersifat “pengeroyokan”, penjelasan yang bersifat detil sangat dianjurkan untuk dilakukan. Dan semoga tahun 2012 berjalan dengan lebih baik lagi… Selamat Tahun Baru.