Krisis Pangan dan Instabilitas Politik

Revolusi Melati (Jasmine Revolution) di Tunisia yang berhasil menggulingkan Presiden Zine el-Abidine Ben Ali melalui gerakan people power benar-benar menjadi inspirasi negara-negara Timteng dan Afrika. Rakyat di negara-negara seperti Yordania, Aljazair, Oman, dan Yaman pun ikut-ikutan menuntut mundur rezim otoriterianisme, pasca penggunduran diri Presiden Mesir Hosni Mubarak.

Gejolak politik yang melanda Timteng ini telah menciptakan instabilitas politik berupa gerakan revolusioner dan menuntut reformasi politik, ekonomi serta penurunan harga kebutuhan pokok dan penciptaan lapangan kerja baru bagi masyarakat.

Secara implisit, gejolak politik di Timteng sebenarnya dipicu oleh krisis pangan dunia yang saat ini menjadi ancaman global. Krisis pangan dikhawatirkan dapat memicu krisis ekonomi, meningkatkan jumlah orang miskin dan pengangguran.

Bagi Indonesia, krisis politik di Mesir bisa menjadi pembelajaran politik yang sangat berharga meski pada 1998, Indonesia pernah mengalami hal serupa yang berlanjut pada kejatuhan rezim Orde Baru. Sayangnya, perubahan radikal yang dialami Indonesia ke fase reformasi tak lebih hanya sekedar euphoria belaka, karena kenyataannya pemerintah masih mengadopsi warisan Orde Baru. Persoalannya, sejauh mana krisis pangan dapat menjadi instabilitas politik suatu negara?

Mantan Presiden RI pertama, Soekarno, dalam pidatonya pernah mengingatkan masalah pangan merupakan hidup-matinya suatu bangsa. Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak terpenuhi, ini bisa menjadi malapetaka bagi bangsa. Peringatan Bung Karno tersebut memang sudah terbukti. Banyak pemimpin dunia berhasil digulingkan rakyatnya melalui gerakan people power. Apalagi, bila kebijakan pemerintah dianggap tidak pro-rakyat.

Secara global, krisis pangan yang terjadi saat ini semakin parah akibat anomali perubahan iklim, bahkan Organisasi Pangan Dunia (FAO) sudah memprediksi Indonesia bakal terkena imbas krisis pangan dunia. Saat ini, Indeks Harga Pangan bulanan telah melonjak 3,4% selama periode Desember 2010 hingga Januari 2011. Indeks tersebut sekarang berada di tingkat tertinggi, bahkan hampir semua komoditas utama seperti padi dan minyak mengalami lonjakan yang luar biasa. Akibatnya, indeks harga pangan yang dirilis FAO mencapai 231 poin atau 3,4% lebih tinggi dibanding Desember 2010.

Karena itu, bila krisis pangan ini tidak cepat diantisipasi bukan tidak mungkin krisis politik seperti di Mesir bisa menjalar ke Indonesia. Apalagi, pemicu gejolak perlawanan rakyat sudah sangat terbuka, seperti angka kemiskinan dan pengangguran yang terus bertambah. Selain itu, sejak Januari lalu, hampir semua harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan sekitar 15%.

Di lain pihak, target-target makro ekonomi hampir tak terpenuhi. Ancaman krisis pangan dunia niscaya mendongkrak target inflasi 2011 sebesar 5,3% dalam APBN. Kebijakan pemerintah melakukan pembatasan subsidi BBM dan tarif listrik, pelepasan capping listrik untuk industri menjadi penyumbang kedua pemicu terjadinya inflasi yang berpotensi menambah warga miskin. Karena itu, tidaklah salah bila Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu memprediksi perhitungan inflasi akibat pengaruh administered price bisa menyentuh ke level 6,1-6,6%. Kondisi ini merupakan isyarat Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono gagal mengamankan ketahanan pangandan meredam inflasi?

Awal periode pertama pemerintahan SBY pada 2004 lalu, pemerintah mencanangkan program revitalisasi ketahanan pangan. Program ini dimaksudkan untuk mengubah pertanian menjadi sektor yang lebih kompetitif untuk menarik investasi swasta dan memberikan pendapatan lebih tinggi serta menciptakan lapangan kerja baru. Kenyataannya, sampai periode kedua pemerintahan SBY, belum satu pun program revitalisasi ketahanan pangan berhasil direalisasikan.

Sebut saja, program pembukaan lahan pertanian baru (ekstensifikasi), penerapan teknologi pertanian (intensifikasi), pemberian modal kepada petani untuk mengembangkan produksi pertanian, termasuk persiapan regulasi yang berpihak pada kepentingan petani. Kondisi ini memang sangat ironis dan bertolak belakang dengan cita-cita sebagai negara agraris untuk melakukan swasembada beras. Padahal, belajar dari negara-negara yang berhasil melakukan swasembada pangan, program ketahanan pangan akan berhasil bila pemerintah lebih memprioritaskan pada kebijakan pro-petani.
Krisis pangan yang terjadi di Indonesia saat ini justru dipicu oleh kenaikan harga pangan yang tak berkesudahan, seperti anomali iklim, hukum pasar antara supply-demand serta harga yang melambung tinggi sejak awal 2010 hingga saat ini. Bahkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011 menyebutkan, sejak Desember 2009 hingga Desember 2010, harga beras naik 30,9%, cabai rawit 119, 14%, cabai merah 62,41%, minyak goreng 9,89%, telur ayam ras 9,82%, dan daging ayam naik 6,65%. Akibatnya, daya beli masyarakat terus menurun. Sementara pemerintah sendiri belum mampu mengatasi gejolak harga yang terus melambung tinggi, sehingga target inflasi 2010 sebesar 5,3% justru meleset menjadi 6,9%.

Sedangkan hasil Sensus Penduduk 2010 menyebutkan, jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 237,56 juta jiwa dan menempatkan Indonesia sebagai negara keempat terbesar dunia setelah China, India dan AS. Laju pertumbuhan penduduk sendiri tercatat 1,49%. Pesatnya laju pertumbuhan penduduk ini ikut mendorong meningkatnya permintaan pangan yang cukup signifikan. Hal ini tentu memerlukan antisipasi sejak dini.
Salah satu instrumen penting untuklmenciptakan kedaulatan pangan adalah mendukung usul inisiatif revisi UU No.7/ 1996 tentang Pangan serta PP No.68/2002 tentang Ketahanan Pangan yang diprakarsai FPG DPR RI dalam rangka mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan yang lebih pro-petani. Persoalannya, prakarsa ini belum berjalan maksimal karena revisi UU No.7/1996 belum termasuk daftar prioritas Badan Legislasi (Baleg) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR.

Yang lebih mengejutkan lagi, sejak akhir 2010, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan instan yang sangat merugikan petani dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK Nomor 241/2010) tentang Pembebasan Bea Masuk serta PMK Nomor 13/2011 tentang Perubahan 57 pos tarif bahan pangan, termasuk gandum. Bahkan, pemerintah ditengarai telah mengimpor 2,5 juta ton beras asal Thailand dan Vietnam dengan fasilitas bebas bea masuk nol persen. Kebijakan bea masuk nol persen tersebut membuktikan bahwa pemerintah sama sekali tidak berpihak kepada petani. Ada kesan pemerintah tidak memproteksi produk pertanian dalam negeri, tetapi malah kepada importir.

Tekad pemerintah mewujudkan ketahanan pangan memang masih sebatas retorika. Kenyataannya, para petani kita saat ini belum berdaulat atas proses produksi dan konsumsi pangannya, termasuk menjamin stabilisasi harga pangan. Karena itu, sangatlah sulit rasanya bagi Indonesia untuk kembali melakukan swasembada pangan seperti di era Soeharto. Yang perlu diantisipasi, mudah-mudahan krisis pangan tidak berimbas menjadi krisis politik yang dapat mengancam legitimasi pemerintah. ***